Wednesday, January 20, 2010

Kunanti Cintamu di Musholla Kampus

Oleh: Feriawan AN

Ini bukan kisah cinta. Tetapi mungkin agak-agak gitu. Tidak tegas, ya? Entahlah..Aku tidak tahu. Kadang aku malu untuk menuliskan ini karena mungkin aku tak jujur. Walaupun begitu, kalau mungkin aku tak jujur menurutmu, itu tidak membuat apa yang aku tulis di sini menjadi kabur. Tetapi kuminta jangan membayangkan apakah wajahku, pipiku, bersemburat merah ataukah tidak. Itu tidak aku bahas.

Kamu tahu, nggak. Di mosholla kampus ini aku sering memperhatikanmu. Yang tadinya sekedar berlalu lalang dari pintu gerbang menuju ruang kuliah, tetapi sejenak kau lambatkan langkahmu melihat ke dalam ruang dalam musholla, melihat sejenak, dan pergi.Hanya memang dari hari ke hari kamu memang tak pernah ada dalam ruangan ini.


Aku sepintas melihatmu, meski tak mengenalmu. Hmm…keren. Jaket jeans dengan lengan terlinting yang selalu kau pakai, yang dibiarkan balapan dengan kaos ataupun kemeja bermotif garis lurus, sepatu sport, dan tas cangklong. Sejenak saat kamu berhenti melangkah, ada wajah yang berbeda, sebelum akhirnya melenggang. Begitu, sekali, dua kali dan hingga beberapa kali kamu melintas dengan perilaku yang sama, sebelum akhirnya ber haha-hihi dengan teman-teman yang pada tongkrong di teras kampus.

Tuesday, January 12, 2010

Tentang Kami

(Foto: Rachmad Resmiyanto)

Ada 6 orang: Aditya, Feriawan Agung Nugroho, Ina Minasaroh, Lizamul Widad, Rachmad Resmiyanto, Sita Rahmi BS

Monday, January 11, 2010

Rupa Kami


(dari kiri ke kanan) Tommy, Lizamul Widad, Rachmad Resmiyanto, Feriawan Agung Nugroho, Sita Rahmi BS

Adinda

Oleh: Feriawan Agung Nugroho

dibacakan oleh Feriawan Agung Nugroho
Ahad, 10 Januari 2009


Dahulu kala, ada seorang lelaki yang buruk rupa. Kulitnya hitam, tinggi tak seberapa, miskin, buruk rupa, dan karena kemiskinannya itu dia sangat terkucil. Tidak ada seorang perempuan pun yang mau mencintainya. Setiap dia mencoba untuk menyatakan cinta kepada perempuan yang dia rasa memang cantik dan menawan, selalu ditolak. Malang benar nasibnya.

Seribu Kunang-Kunang di Manhattan

Oleh Umar Khayam

dibacakan oleh Sita Rahmi BS
Ahad, 03 Januari 2009

Mereka duduk bermalas-malasan di sofa. Marno dengan segelas scotch dan Jane dengan segelas martini. Mereka sama-sama memandang ke luar jendela.
“Bulan itu ungu, Marno.”
“Kau tetap hendak memaksaku untuk percaya itu ?”
“Ya, tentu saja, Kekasihku. Ayolah akui. Itu ungu, bukan?”
“Kalau bulan itu ungu, apa pula warna langit dan mendungnya itu?”
“Oh, aku tidak ambil pusing tentang langit dan mendung. Bulan itu u-ng-u! U-ng-u! Ayolah, bilang, ungu!”
“Kuning keemasan!”
“Setan! Besok aku bawa kau ke dokter mata.”