Wednesday, January 20, 2010

Kunanti Cintamu di Musholla Kampus

Oleh: Feriawan AN

Ini bukan kisah cinta. Tetapi mungkin agak-agak gitu. Tidak tegas, ya? Entahlah..Aku tidak tahu. Kadang aku malu untuk menuliskan ini karena mungkin aku tak jujur. Walaupun begitu, kalau mungkin aku tak jujur menurutmu, itu tidak membuat apa yang aku tulis di sini menjadi kabur. Tetapi kuminta jangan membayangkan apakah wajahku, pipiku, bersemburat merah ataukah tidak. Itu tidak aku bahas.

Kamu tahu, nggak. Di mosholla kampus ini aku sering memperhatikanmu. Yang tadinya sekedar berlalu lalang dari pintu gerbang menuju ruang kuliah, tetapi sejenak kau lambatkan langkahmu melihat ke dalam ruang dalam musholla, melihat sejenak, dan pergi.Hanya memang dari hari ke hari kamu memang tak pernah ada dalam ruangan ini.


Aku sepintas melihatmu, meski tak mengenalmu. Hmm…keren. Jaket jeans dengan lengan terlinting yang selalu kau pakai, yang dibiarkan balapan dengan kaos ataupun kemeja bermotif garis lurus, sepatu sport, dan tas cangklong. Sejenak saat kamu berhenti melangkah, ada wajah yang berbeda, sebelum akhirnya melenggang. Begitu, sekali, dua kali dan hingga beberapa kali kamu melintas dengan perilaku yang sama, sebelum akhirnya ber haha-hihi dengan teman-teman yang pada tongkrong di teras kampus.
Aku suka wajah itu. Bukan karena seraut wajah lumayan dengan hidung mancung dan sorot mata meyakinkan, ataupun sisir rambut belah pinggir yang begitu kentara. Tetapi rasanya wajah itu adalah wajah orang yang gelisah campur kangen. Rindu yang dalam.

Oh, ya! Jika kau tanya mengapa aku bisa sedalam itu mengetahuimu., aku bisa jelaskan Sudah menjadi tugasku untuk merawat musholla kampus ini. Ini adalah rumahku dan rumah sekian banyak ikhwan dan akhwat untuk menghidupkannya. Dan di sela-sela kegiatan, aku dan beberapa teman biasa bersih-bersih semua ruangan. Menyulak jendela-jendela, menyapu, mengepel, membersihkan sawang, menempel pengumuman, menyingkirkan sampah-sampah catatan kecil, dan sesekali memungut dan menempatkan Al-Qur’an dan buku-buku yang barangkali lupa dikembalikan jamaah. Aku sendiri biasa sembunyi di ruang keputrian. Ya memang, karena aku seorang akhwat. Nah, dari sini aku biasa mengamati sekian banyak manusia yang hilir mudik di sekitar musholla. Termasuk kamu.

Udara di musholla ini sejuk walaupun hari panas, karena kampus ini penuh dengan hijauan. Riuh mahasiswa mahasiswi yang lalu lalang pun sangat jelas terdengar. Tawa, gurau, angkat bicara, sampai dengan demo-demo dan teriak sesekali, semuanya terdengar. Apalagi jika menjelang masuk ataupun usai jam kuliah. Wuih…bukan main ramainya.

Hanya saja musholla ini seolah menjadi orang asing di tengah keramaian itu. Sepi. Hanya pas waktu sholat atau kajian saja agak lumayan ramai. Jika pada jam-jam biasa, hanya beberapa orang yang numpang belajar, karena mungkin mencari suasana tenang, ataupun beberapa aktivis musholla yang lagi berkegiatan. Itu saja. Sesekali beberapa orang datang menempelkan kegiatan lembaga mereka di papan pengumuman. Yah, menurutku imajinasiku, musholla ini menjadi ruang hampa di tengah keramaian.

Maka dari itu, bagiku, perilakumu yang unik itu menjadi objek yang mencuri perhatianku. Karena tidak biasanya orang, apalagi dengan penampilan sepertimu,menjadi terhenti untuk memandangi bangunan sepi ini. Kamu tak tahu di mana aku, kan? Hihi..maaf jika aku memata-mataimu.


Suatu saat. Kamu terhenti cukup lama di depan pintu musholla. Berdiri terdiam. Kamu pandangi terus mimbar yang kosong itu. Menurutku, wajahmu menyiratkan seolah-olah ada khatib atau penceramah yang ada di sana. Ada rasa harap yang sangat kuat di sana.

Kamu tahu, bahwa saat kamu terdiam itu, aku memberanikan diri keluar dari ”sarang” keputrian. Dari arah sampingmu, perlahan, dan kamu tidak menyadarinya.

”Assalamu’alaikum,” sapaku.

Di luar dugaanku. Kamu kaget luar biasa. Mendadak mundur. Wajahmu pucat-panik. Jelas terlihat kamu seolah melihat hantu daripada manusia. Keringat mengucur dan matamu melihat seluruh sosokku.

“Wa…wa….waalaikum salam” jawabmu.

Aku masih berdiri tenang tersenyum. Atau mungkin sedikit geli melihat reaksimu yang spontan itu. Meskipun jujur, agak menyesal juga menghancurkan lamunan ataupun kekhusyukanmu. Dan kamu kemudian mundur lalu melangkah menjauh dengan tergesa-gesa, membiarkan aku berdiri dan tetap tersenyum melihatmu melangkah cepat, menjauh dan sekali melihatku, lalu kamu hilang. Sungguh, aku tidak akan lupa saat-saat itu.

Hari berikutnya, dan sesudah itu, dan seterusnya..kamu masih sama dengan yang dulu. Berjalan sebentar, pura-pura tidak tahu, tetapi matamu melirik ke dalam ruangan musholla. Sama juga seperti yang lalu, pada saat-saat sepi, kamu melakukan hal yang sama: menatap mihrab musholla. Tetapi kali ini, aku tidak ingin mengganggumu atau mengagetkanmu. Cukuplah reaksimu seperti saat itu.

Dan sampailah saat itu. Di saat aku membaca sebuah majalah dakwah di teras musholla, kamu datang dengan model baju yang masih sama dengan yang biasa kamu pakai: jaket jeans belel, lengannya balapan dengan t-shirt lengan panjang yang kau linting sampai setengah lengan, celana sporty santai dan tas cangklong. Menghampiri aku yang duduk dengan langkah agak ragu-ragu. Aku pasang aksi pura-pura tidak tahu, walaupun dalam hati, salut juga bahwa kamu ada perkembangan. Berdiri lalu duduk agak jauh, berjarak satu setengah meter dari aku duduk.

”As…assalamualaikum”, sapamu.

Aku menutup majalah. Jelas suaramu agak tegang.

” Waalaukum salam” , jawabku dengan suara santai. Aku melihatmu sesaat dan kemudian menundukkan pandanganku. Telingaku yang tertutup jilbab agak aku sorongkan agar kamu tahu bahwa aku memberi ruang komunikasi untukmu. Kamu tampaknya paham.

” Maaf”, katamu. Kata awal yang biasa disampaikan oleh orang yang malu-malu, ataupun rata-rata suku Jawa.

Ada jeda cukup lumayan darikata awal itu. Dan jujur, bukan kata selanjutnya yagn aku nanti, tetapi bahasa tubuhmu yang malu-malu itu yang aku tangkap.

“Ee…bisa numpang tanya. Mbak”, katamu.

”Ya?”

”Ee…bagaimana caranya jadi anggota musholla ini, Mbak?”

”Anggota?” tanyaku balik. Jujur, nggak ngerti juga, baru kali ini ada mahasiswa tanya masalah keanggotaan. Bukan saja terlalu mendadak bagi orang yang sebelumnya tidak pernah mampir, ikut kajian ataupun sekedar menginjakkan kaki di lantai musholla ini, tetapi juga sebuah awalan pembicaraan yang tak lazim, yang tak aku duga.

”Ya…anggota..”

Kamu mengulanginya. Kali ini nada serius dan sungguh-sungguh aku tangkap.

”Emm.” giliran aku yang mikir.

”Sebenarnya tidak ada, ataupun tidak dikenal istilah keanggotaan di mosholla ini. Ini kan rohis dimana setiap mahasiswa atau mahasiswi muslim secara tidak langsung menjadi jamaah ataupun anggotanya. Hanya saja aktivis yang ada di sini biasanya pada ngikut kaderisasi dulu sebelum kemudian terlibat aktif di rohis.

”Rohis itu apa, Mbak?”


Gubrak ..! Ya ampun..Masnya ini dari planet mana ya? Barangkali Kamu menangkap ekspresi kekagetanku ini. Tetapi rupanya kamu sudah sangat siap dengan reaksiku. Aku yang kemudian senyum.

”Rohis, atau kerohanian Islam, itu adalah kumpulan teman-teman yang mengadakan kajian di musholla ini.”

”Ooh…Kapan ada kajian itu, Mbak?”

Duh..dari pertanyaanmu tampaknya pertanyaan awal berkaitan dengan keanggotaan kabur deh. Kemudian aku menunjuk ke papan pengumuman.

”Itu di sana ada jadwal kajian. Yang bertuliskan JMF itu dan ada list jadwal di sana. Yang paling dekat besok pagi jam 7 sampai jam 8.30 dan yang ngisi Ustad Didik Purwodarsono.”

”Oh…itu. Kalau begitu saya lihatnya sendiri. Makasih Mbak.”

Aku mengangguk. Tanpa salam kamu menuju papan pengumuman dan bibirmu tampak membaca sepucuk kertas yang menempel, yang aku tunjuk tadi. Aku melanjutkan membuka majalahku.

Ada kesan yang janggal jika menyimak perbincangan denganmu tadi. Kayaknya, menurut instingku, kamu memang tidak pernah mengenal tentang organisasi Islam. Yang mungkin berbeda dengan aku yang sejak SMP terbiasa jadi aktifis baik di kampung maupun di sekolah.

***

Hari itu kamu datang ikut kajian. Hihi…jika aku bayangkan pas kamu datang aku geli sendiri. Walaupun tidak dengan jaket Jeans, berganti dengan baju yang dibiarkan balapan dengan t-shirt panjang yang dilipat lengannya, dan kancing baju kamu biarkan terbuka, tetapi memang ada yang menurutku janggal. Ya…kamu memakai peci. Wah..mirip orang gagal mode. Dan kamu agak ragu dengan sesekali menyentuk peci di kepalamu itu. Hihihi….

Wajahmu tegang banget masuk ke musholla yang sudah lumayan dipenuhi jamaah. Eh..giliran sampai pintu masuk, malah dengan cepat kamu mencopot peci dan memasukkannya dalam tasmu. Mungkin karena mendapati bahwa tidak ada satupun teman yang memakai peci.

Aku gambarkan suasana pengajian ya. Betapa tidak aneh, Ust Didik yang rada mbanyol kalau mengisi pengajian itu, kamu seperti tak fokus kepada apa yang dibicarakan. Tidak terdengar tawa. Kamu justru dengan wajah takut-campur-ragu memandangi satu persatu jamaah yang ada. Dari ekspresi wajah, jenggot, gerak tangan sampai dengan apapun yang sepertinya unik. Kamu juga sesekali melihat ke dalam ruangan yang tampaknya mengherankanmu, ataupun aneh. Kaligrafinya, dan apapun yang ada di situ.

Usai pengajian, kamu masih termenung bersila di serambi musholla. Kali ini wajahmu memandangi orang-orang yang lalu lalang di depan musholla dengan wajah serius. Dan aku perlahan mendatangimu dekat kamu duduk. Kamu tahu aku datang. Kamu sejenak meandangku, tersenyum dan kemudian melihat ke arah halaman kampus.

”Assalamualaikum, Akhi” sapaku. Eh..kok kamu tak menjawab. Lalu aku keraskan suaraku. Padahal aku yakin benar bahwa kamu mendengarnya. Sangat jelas

”Assalamualaikum, Akhi”, suaraku kali ini sedikit menekan pada beberapa intonasi. Heran. Kamu tidak bereaksi. Terus menatap halaman. Kali ini dengan nada agak kencang aku setengah mengeraskan suara.

”Assalamualaikum!”, kataku.

Kamu kaget. Memandangku dan kemudian senyum aneh.

”Waalaikum salam”, jawabmu. Wajahmu jelas nampak agak takut melihat tekanan suaraku.

”Gimana kajiannya, Akhi?”

”Baik,”jawabmu. Huh, jawaban standar.

”Akhi baru pertama kali ini, kan ikut kajian?”

”Ya. Benar.”

”Kalau tertarik, datang saja setiap Rabu pagi jam yang sama dengan sekarang. Oh ya, kalau perlu ajak teman-teman yang lain untuk ke sini. Nanti lambat laun akhi akan kenal dengan Pak Haryo, Pak Rozai, Pak Sigit dan beberapa lainnya.”

”Oh..ya..”, jawabmu datar. Nampaknya kamu ingin mengakhiri percakapan ini karena aku jelas menangkap ada yang datar dari jawabmu.

”Itu dulu ya, Akhi. Wassalamualaikum”, salamku mengakhiri pembicaraan.

”Waalaikum salam”, balasmu.

Selang beberapa langkah aku tidak melihatmu. Tetapi agak jauh aku mengengar kamu menggumam dengan nada heran.

”Akhi?” gumammu saat itu.

Masya Allah! Astaghfirullah hal Adziem. Aku baru sadar bahwa aku telah menuduhmu tak menjawab salam. Semestinya aku kan tahu bahwa kamu tak terbiasa dengan panggilan Akhi-Ukhti. Jangan-jangan kamu juga bertanya-tanya tentang ikhwan-ikhwan yang kupanggil dengan awalan ”Pak” tadi. Wah gawat!

Di dalam ruangan keputrian aku sungguh merasa bersalah dan berdosa padamu. Dengan jelas kamu melangkah keluar dengan melihat kamu berkerenyit dahi membayangkan apa yang kupanggilkan padamu.

***

”Ada yang perlu dibahas, Ukhti?” tanya Pak Haryo dari balik hijab.

“Iya, Pak”, jawabku.

Kami memang janjian sehabis rapat, ingin membicarakan tentangmu. Karenanya menurutku, kamu seperti butuh teman-teman ikhwan untuk didekati dan mengenal tentang Musholla, atau bahkan, mengenal Islam. Ya tentu saja selain perasaan nggak enak jika saja nanti aku yang malah ngajakin kamu ke musholla, bagiku teman-teman Ikhwan jauh lebih ngerti dunia lelaki daripada aku. Maka maksud itulah yang hendak aku sampaikan pada Akh Haryo, atau lebih enak memanggilnya Pak Haryo.

“Aku tidak, atau belum kenal dengan dia, Akh. Tetapi dia mudah dikenali. Setiap dia melintas di depan musholla selalu menghentikan langkah dan memandang ke dalam sini. Dia baru sekali ikut kajian. Dan saya tidak tahu apakah minggu depan dia akan datang. Nah, maksud saya, mungkin Akh Haryo , atau Pak Haryo, bisa mendekati dia untuk bisa tetap datang ke musholla. Kita ajak lah dia.

”Insya Allah Ukhti,” Pak Haryo berjanji. Ya. Aku percaya Pak Haryo bisa melakukan pendekatan yang baik denganmu. Mungkin karena Pak Haryo style-nya cukup moderat dan mungkin bisa mengimbangi gayamu, bahasamu, ataupun semua tentang kamu. Ya, karena dulunya Pak Haryo adalah orang yang sudah kenyang dengan dunia, yang aku tangkap, adalah duniamu.

***

Hari itu, seusai kajian, aku sedikit melihat dan mendengar ada perbincangan antara kamu dengan Pak Haryo. Seperti dugaanku, pembicaraan antara kamu dan Pak Haryo terdengar lebih smooth daripada saat kita bertanya jawab.

Aku tidak begitu jelas menangkap apa yang kalian bicarakan. Yang pasti aku juga tak berniat menguping. Yang kudengar adalah: ada sela-sela tawa, nada formal, dan saling bertanya. Karena sepertinya ”aman-aman saja” aku lebih baik meninggalkan perbincangan itu dan menyibukkan diri mengurus makalahku.

Semenjak itu, yang aku tahu kamu tidak lagi menjadi orang yang bengong di muka musholla. Begitu kamu datang, kamu langsung masuk dan mencari Pak Haryo. Lambat laun kamu sudah akrab juga dengan Pak Rozai, Pak Sidik, Pak Tija dan beberapa ikhwan lainnya. Syukurlah.

Ada beberapa peristiwa menarik yang bisa aku tuliskan tentangmu. Satu kali, saat itu kita sedang mengadakan tilawah bersama. Kamu kaget setengah mati dan agak takut waktu itu.Kita bersama duduk melingkar dan saling membaca lima ayat. Dan…pas giliranmu…agak lama kamu mengucapkan ta’awud dan kemudian basmallah. Setelah itu…

”Sum….sum…summ….mmmumm…..bukkkkk…mmmmmmunnnn unnnnn….yyyyyy..yyyyy..”lama…”yunnnnnn far…far…hummmm…” begitu terbata-bata.

Bersamaan dengan itu kamu nampak bermandikan keringat. Kamu seolah sedang direbus di atas bara menyala. Aku sungguh kasihan pada saat itu melihatmu begitu. Beberapa kali kamu menyeka kepala sambil menjauh-dekatkan Qur’an yang sebenarnya dari sisi huruf sudah sangat besar. Sangat jelas.

”Iya. Cukup saja satu ayat. Lanjut ke sebelahnya.”

Rupanya Pak Haryo cukup paham situasi ini dan kemudian meneruskan ke ikhwan sebelahnya. Kamu tampak lega bukan kepalang meskipun masih nampak betapa kacaunya dirimu. Entah malu campur apa..dan entah sampai berapa lama sampai forum ini berakhir.

Usai acara kajian dan tilawah, kamu nampak termenung di serambi. Kali ini aku tertarik untuk menyapamu.

”Assalamualaikum, Akhi,”…duh…aku lupa memanggilnya ”Akhi” lagi. Tetapi kamu bisa menjawabnya.

”Waalaikum salam, Ukhti,” jawabmu agak lirih. Wajahmu memandang halaman kampus, begitu tampak kekecewaan yang sangat dalam.”

”Aku berantakan, ya, Ukhti”, katamu.

”Berantakan apanya, Akhi?”

Kamu diam. Menunduk sebentar kemudian memainkan jemari dan bercerita.

”Hmm…sebenarnya saya memang tidak bisa membaca Al-Qur’an,”katamu.

Aku tak berkomentar.

”Tampaknya ada sesuatu yang hendak Akhi sampaikan. Kalau boleh tahu, apa itu?” Gila! Darimana aku bisa mendapat kalimat ini? Akhwat macam mana memulai hal-hal yang sifatnya pribadi.

Tetapi tampaknya kamu tak keberatan. Perbincangan ini menjadi perbincangan yang enak antara kamu dan aku untuk pertama kalinya. Kamu ceritakan tentang latar belakangmu yang bukan dari keluarga yang dekat dengan Islam. Ayahmu, ibumu dan lain sebagainya yang memang layaknya ordinary people Indonesia yang baru berislam secara KTP, walaupun jelas kamu bukan berasal dari keluarga broken ataupun kacau, hanya saja jauh dari menjalankan syariat Islam. Kamu ceritakan tentang sekolahmu yang malah dari yayasan agama lain. Semasa dulu sampai sekarang tak pernah menginjakkan kaki ke tempat Ibadah. Jangankan ke masjid, sholat saja entah kamu mengenal atau tidak. Lalu juga kamu ceritakan betapa kamu memiliki dorongan kuat, atau mungkin bagiku sangat kuat ketika SMA kamu merasa penting untuk tahu tentang Islam. Lalu, kamu bercerita betapa perempuan yang mengenakan jilbab adalah pemandangan yang baru bagimu. Sehingga kamu tidak tahu harus berkata apa ketika pertama ketemu aku. Barangkali mirip ketemu sosok malaikat yang membuatmu merasa berdosa banget. Dan lalu, pada akhirnya kamu merasa perlu untuk melawan semua keraguanmu saat ingin menjadi bagian dari Musholla ini.

Sungguh, dalam hati aku salut kepadamu yang bisa melawan semua keragu-raguanmu. Betapa tidak, kamu memiliki kesadaran dari dalam untuk mendapat Hidayah. Sesuatu yang selama ini entah aku tak sadar melupakan nikmatnya memperoleh hidayah. Secara tidak langsung kamu mengajarkan kepadaku, betapa nikmat Allah ini demikian besar aku rasakan. Dan betapa aku harus bersyukur telah mendapati keluarga dan lingkungan yang paham tentang agama.

Aku sembunyikan raut wajahku, biar tak ketahuan rasa haruku, ataupun mungkin air mata kesyukuran. Dan kamu terus bercerita dimana setiap kata seolah menjadi bagian dari sebuah nasehat tak langsung padaku.

Dan hari itu aku sungguh bersyukur.

***

Sejak hari itu, Pak Haryo secara intensif memberimu pelajaran tentang baca tulis Al-Qur’an. Kabarnya, kamu sangat antusias, walaupun berawal dari buku Iqro’ TPA . Karena tak berselang lama kamu telah mulai lancar mengenali huruf dan mengenal tajwid.

Ada yang menonjol dari apa yang diceritakan Pak Haryo. Kamu begitu haus akan wacana-wacana Islam dan buku-buku apapun yang mengandung hal-hal berkaitan dengan Islam. Sekali waktu kamu bukan hanya terlibat perbincangan, tetapi berdebat malah dengan Pak Haryo, tentang berbagai pemikiran, tafsir dan lain sebagainya.

Lelaki….Ya, Barangkali karena kamu lelaki, kamu sangat tertarik dengan hal-hal pemikiran daripada hal-hal yang lebih menyentuh ke hati.

Tak sempat aku berucap padamu langsung. Yang pasti aku, dalam hati, mengucapkan selamat datang kepadamu yang sekarang sudah menjadi bagian dari Musholla. Kamu sudah menjadi ”anggota”.

***

Hingga, aku ingin menutup tulisan ini dengan sebuah kisah yang belum usai. Maaf jika itu mengganggumu. Tetapi memang itu keputusan terbaikku agar aku tidak terlalu jauh merasa dihantui perasaan tak enak. Perasaan yang bukan dariapa salahmu, atau apa persoalanmu, tetapi perasaan yang memang aku rasa ini salahku dan persoalanku. Kamu bahkan mungkin tak pernah tahu. Sungguh! Ini adalah persoalanku yang semestinya tak melibatkanmu.

Suatu ketika aku berjalan menuju musholla. Sebagaimana biasanya lah. Sebagai sosok akhwat yang berjilbab besar dan berjalan dengan menundukkan pandangan untuk tidak diganggu sama orang-orang, khususnya lelaki ataupun mahasiswa, dan juga tidak mengganggu pikiranku seandainya ada hal-hal yang tak pantas bagiku untuk aku lihat.

Akan tetapi telingaku tidak bisa ditutupi dari mendengar suara-suara. Ya. Dan kemudian terdengarlah suaramu di sana sedang tertawa-tawa.

Astaghfirullah hal adzim. Aku sedikit menaikkan wajahku dan mencuri pandang ke arahmu. Di sana, kamu dan beberapa temanmu sedang berkumpul. Bukan yang lain yang aku tuju, tetapi kamu. Kamu sedang bersenda gurau dengan mahasiswi sambil memperbincangkan sesuatu, sesuatu yang mungkin adalah tugas kuliah. Aku melihatmu menepuk pundak perempuan yang …yang pasti bukan muhrimmu..yang berada di sekelilingmu seolah tak ada jarak. Diantara tawa-tawa itu mereka ada juga yang mencubitmu. Tergelak. Tertawa lepas. Dan kemudian menepuk pundak mereka.

Mereka juga tak tampak terganggu dengan tepukanmu. Bahkan mereka seolah merasakan bahwa itu adalah hal yang wajar dan maklum adanya sebagai bagian dari pergaulan antara kamu dan mereka.

Aku merasa nggak enak. Jujur aku shock. Uh!!!!!! Mengapa harus aku lihat semua ini.

Tetapi sejenak aku sadar bahwa itu bukan salahmu. Bagaimanapun kamu adalah manusia biasa yang punya masa lalu dan punya proses untuk berubah. Tetapi aku? Aku juga harus jujur dengan diriku sendiri bahwa aku nggak ikhlas melihatmu begitu. Ingin rasanya aku pukulkan sesuatu kepadamu, atau meneriakkan namamu sekeras-kerasnya. Tetapi….ah…rasanya aku ingin menangis saja. Aku tahu ini prosesmu yang harus ada kata ’maklum’ sampai akhirnya kamu tahu, tetapi aku tak mampu mengendalikan batinku.

Mungkin, karena kamu tidak melihatku yang terhenti beberapa saat, aku rasa aku ingin pergi saja. Kupercepat langkah menuju musholla sambil menyembunyikan wajah yang kecewa..

”Assalamualaikum Ukhti! Tunggu!”

Degg….Kamu memanggilku. Aku tidak berani membalikkan badan dan hanya berhenti saja.

”Waalaikum salam” jawabku.

”Ukhti. Nanti saya ada praktikum agak lama. Jadi nggak bisa ikut rapat Musholla. Cuma saja saya sudah janji sama Pak Haryo untuk menyelesaikan master publikasi kajian,” celotehmu. Huh!!!! Benar-benar tidak ada perasaan bersalah! Aku tidak berbalik sama sekali karena takut raut wajahku terbaca olehmu.

” Ukhti. Tolong sampaikan ke Pak Haryo master publikasi ini,” katamu. Dari bunyi yang ada, kamu hendak melangkah ke sampingku dan menyerahkan selembar kertas yang entah apa isinya itu.

Sungguh saat-saat itu begitu menusukku. Betapapun aku ingin memalingkan wajahku, kamu jelas butuh ruang untuk menangkap responku atas maksudmu. Dan saat itu pun terjadi.

”Insya Allah, Akhi,”kata-kata ini meluncur begitu cepat. Tetapi dari sebuah kejadian yang singkat pada akhirnya kamu melihat wajahku yang hampir menangis dan penuh kekecewaan. Dan perubahan singkat atas raut wajahmu yang tadinya sumringah menjadi kontras kaget juga bisa aku tangkap. Gerakanmu tak lagi loss seperti tadi, tetapi sudah berubah melamban seolah dipenuhi pertanyaan atas reaksiku.

Kamu tertahan, aku juga tertahan.

”Dab! Ayo masuk!”, terdengar suara perempuan, lebih tepatnya seorang mahasiswi, memanggilmu untuk masuk ruang kuliah.

”Sebentar” teriakmu. Kemudian kamu memandangku.

”Ukhti tidak apa-apa?” tanyamu memastikanku.

Aku belum sempat menjawab. Hingga pada saat itu yang kulihat adalah lengan seorang perempuan yang begitu putih meraih tanganmu, tepat di gengamanmu,dan menariknya ke arah berlawanan. Kamu, walaupun tadinya agak melawan tarikan itu, pada akhirnya mengalah dan mengikuti dia menuju ruang kuliah. Sekali wajahmu terlempar kepadaku, bersamaan dengan wajah mahasiswi yang memandangku dengan tersenym agak datar. Aku segera mempercepat langkahku yang setengah berlari menuju ruang keputrian musolla.

***

Setelah wudlu dan sholat Dhuha, masih terbayang kejadian itu. Entah pikiran dari mana, aku seolah memperbandingkan diri dengan perempuan-perempuan di sebelahmu dan mencoba seolah bicara meyakinkanmu tentang siapa aku.

Dia, memang tak seperti aku, dimana dia mengenakan kaos agak ketat, modis dengan paduan celana yang sepadan. Dan aku sungguh bukan pemandangan yang menarik jika mengenakan jilbab warna coklat tanpa corak. Tetapi aku percaya bahwa yang seperti aku lah yang tahu menempatkan diri terbaik di hadapanmu. Dia, memang tak berjarak padamu dan bersentuhan kulit. Berbeda dengan aku yang berjarak denganmu secara fisik, bahkan memandang pun aku tak bisa. Tetapi aku percaya bahwa yang seperti aku lah yang tahu bagaimana mendekatkan hatimu dengan hatiku untuk satu tujuan yang lebih penting yang ku pastikan sama dengan apa yang hendak kau tuju. Dia, memang bisa merespon setiap kata gaulmu dengan baik dengan tawa yang menghibur. Tidak seperti aku yang memiliki pilihan-pilihan kata yang mungkin kaku. Tetapi aku yakin bahwa aku bisa menjawab setiap tanyamu, bahkan dari lubuk hatimu. Dia, sangat mungkin bisa mencuri hatimu dengan lenggak lenggok dan kibasan tangan di rambutnya. Tidak seperti aku yang begitu menjaga pandangan dan sangat takut untuk menumbuhkan perasaan lawan jenis. Tetapi aku yakin bahwa jiwamu bukan pada apa yang dia lakukan, melainkan apa yang telah dan akan kita lakukan.

Dalam doaku, aku menyebutmu. Dan entah kenapa, darimana kekuatan itu, seolah muncul keyakinan tentangmu. Keyakinan itu begitu dalam, setelah kejadian barusan dan setelah apa yang memukul hatiku. Inilah sebuah keyakinan yang menjawab semua keraguan. Keyakinan yang tumbuh dari apa yang telah kita (atau kamu) alami di sini dengan sekian banyak pengalamanmu, dibandingkan dengan beberapa detik kejadian tadi. Sebuah keyakinan bahwa tempatmu bukan di sana. Ya. Sungguh tak adil bahwa aku memvonismu sedemikian jauh, bahkan melibatkan perasaan yang terlalu jauh. Aku sekarang tersadarkan. Dalam doaku aku seolah berkata kepadamu dengan senyum. Tempatmu bukan di sana. Tetapi di sini. Di Musholla ini.

Ya, sudah kubilang cerita ini mungkin tidak berakhir menarik, karena toh semua sangat bergantung padamu sendiri, karena ini adalah ceritamu. Semoga apa yang aku rasakan tidaklah salah. Selamat berjuang, Akhi!

Oh ya..aku lupa menyebut namamu. Namamu Feriawan, kan?



Jogja, 11 Januari 2009

Note: gambar ilustrasi serpihan dari situs www.devant-art.com
Nama dan tempat yang tertulis di cerpen di atas bukanlah kejadian yang sebenarnya. Bila terjadi kemiripan nama dan tempat, hanyalah hal yang kebetulan dan bukan kesengajaan dari penulis. Cerpen ini diijinkan untuk dipublikasikan di blog manapun dengan mencantumkan sumber dan link www.teroriscinta.com. Untuk kepentingan komersial, diwajibkan menghubungi penulis. Karena cepen ini sudah dimuat di facebook saya, maka segala upaya penjiplakan akan berhadapan dengan banyak saksi dan hukum yang berlaku, disertai bukti outentik.



Sumber: www.teroriscinta.blog.friendster.com

Tags: cerpen, islami, seni

No comments:

Post a Comment